Ketika pesawat evakuasi Jepang meninggalkan bandara Kabul pada Jumat (27/8/2021) lalu, hanya ada satu pengungsi yang naik. Dia adalah seorang reporter wanita dari Kyodo News. Reporter itu adalah satu satunya orang yang dievakuasi dari 500 atau lebih warga Afghanistan dan warga negara Jepang yang dijadwalkan untuk meninggalkan negara itu, menurut sumber diplomatik yang berbicara kepada .
Terhambatnya rencana evakuasi massal Jepang disebabkan oleh pembatasan hukum serta sulitnya para pengungsi untuk bisa mencapai bandara Kabul, menurut outlet berita . Ratusan pengungsi, termasuk warga Afghanistan yang bekerja dengan pemerintah Jepang, memenuhi bus yang bersiap berangkat ke bandara Kabul Kamis (26/8/2021) lalu, lapor Yomiuri Shimbun. Namun, terjadi serangan mematikan di dekat bandara pada hari yang sama yang telah menewaskan 169 warga Afghanistan dan 13 tentara AS.
Serangan bom itu memaksa evakuasi dibatalkan. Jepang mengirim tiga pesawat angkut untuk upaya penyelamatan, tetapi sebagian besar pengungsi tidak terlihat saat tim mereka tiba. Ketika Jepang mengakhiri rencana evakuasi resminya pada hari Jumat dan pesawatnya meninggalkan Afghanistan, Jepang hanya berhasil mengirim 14 orang Afghanistan ke Pakistan.
Itu pun atas permintaan AS, bukan bagian dari daftar awal 500 pengungsi Jepang. Pengungsi lainnya masih terdampar di Afghanistan. Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan kepada bahwa Tokyo akan melakukan sepenuhnya untuk memastikan keamanan dan mendukung evakuasi warga negara Jepang yang tersisa, staf lokal, dan lainnya di Afghanistan.
Meski begitu, Jepang tidak merinci bagaimana hal itu akan direalisasikan Sejauh ini, Jepang menolak untuk mengatakan berapa banyak warga negaranya yang masih berada di Afghanistan. Tetapi pejabat pemerintah mengatakan kepada The Japan Times bahwa sejumlah kecil tetap berada di negara itu karena mereka tidak ingin pergi.
"Masih belum jelas, per 31 Agustus, kapan SDF akan dapat mengoperasikan pesawatnya lagi di bandara internasional Kabul, menyusul penarikan pasukan AS dari Afghanistan serta situasi keamanan yang semakin tegang di sana," kata perwakilan Kementerian Luar Negeri kepada Insider. "Oleh karena itu, pemerintah Jepang telah memerintahkan kembalinya misi SDF yang dikerahkan di negara negara tetangga." Perjuangan Jepang untuk membuat pengungsi sampai ke bandara Kabul sebagian besar diperumit oleh pembatasan hukum untuk pasukannya di luar negeri.
Menurut , pemerintah Jepang melarang pasukannya beroperasi di luar bandara Kabul, yang berarti para pengungsi harus berjuang sendiri menuju bandara melalui berbagai pos pemeriksaan Taliban. Sementara itu, negara lain seperti AS dan Jerman menggunakan helikopter untuk mengangkut para pengungsi ke Bandara Internasional Hamid Karzai. Operasi terbatas Jepang di Kabul adalah karena konstitusi damai pasca Perang Dunia II.
Konstitusi itu menyatakan bahwa Jepang tidak dapat menggunakan kekuatan militer di luar negeri sebagai bagian dari penolakan perang. Jepang bisa saja menggunakan kekuatan jika perlu untuk melindungi warga negara Jepang di luar negeri. Tetapi, Jepang harus mendapatkan izin dari negara tuan rumah terlebih dahulu.
Hal itu tidak mungkin dilakukan karena Afghanistan telah dikuasai Taliban. Kritikus mengatakan upaya evakuasi pemerintah Jepang termasuk buruk dibandingkan dengan negara lain, yang membantu ribuan pengungsi melarikan diri dari Afghanistan setelah Taliban merebut Kabul awal bulan ini. Analis juga mengatakan Jepang terlalu cepat dalam menarik stafnya dari Afghanistan.
Jepang mengevakuasi diplomat pada 17 Agustus, meninggalkan orang Afghanistan yang bekerja dengan mereka selama beberapa dekade. "Mereka terlalu tergesa gesa dalam menarik staf kedutaan tanpa memutuskan bagaimana menangani orang Afghanistan yang telah bekerja di sana," kata Kazuto Suzuki, seorang profesor di Universitas Tokyo, kepada Nikkei. "Jelas bahwa Jepang tidak siap atau terkoordinasi dengan baik ketika diperlukan, dan upayanya lebih merupakan isyarat daripada memainkan perannya," kata Jeff Kingston, direktur studi Asia di kampus Universitas Temple Tokyo, kepada South China Morning Post.
Seorang warga Afghanistan berusia 40 tahun yang berada di antara para pengungsi mengatakan kepada Yomiuri bahwa dia telah diancam dan diikuti oleh Taliban karena perannya di Badan Kerjasama Internasional Jepang. "Pemerintah Jepang gagal membawa saya keluar tepat waktu. Saya tidak bisa memikirkan cara lain untuk meninggalkan negara ini. Saya dalam bahaya," katanya.